Abstrak

Aku, Karep, dan Kramadangsa (Self, Will, and Self-fullfilment)

Kehidupan manusia tentu tidak dapat terlepas dari konsepsi tentang siapa “Aku” sebenarnya. Mulai dari Cogito Ergo Sum-nya Rene Descartes sampai dengan Tabula Rasa-nya Sigmund Freud, semua berupaya untuk mendefinisikan, memetakan dan mengerti siapa sebenarnya “Aku”, melalui pendekatan yang bersifat empiris-positivistik. Ki Ageng Suryamentaram, mengikuti jejak-jejak para pemikir terdahulu dan pengalaman pribadinya dalam meneliti, mengidentifikasi dan mendefinisikan sifat ke-“aku”an dalam diri manusia dalam kacamata pandangnya sebagai seorang Jawa, pada akhirnya menemukan trinitas Aku, Kehendak (Karep), dan Kramadangsa, yakni “bagian ego yang selalu berusaha mengkaitkan diri dengan catatan-catatan sang karep”. Kramadangsa, dengan demikian adalah sebuah potret “Aku” yang tampak di publik, yang saling berhubungan dengan bagaimana masyarakat membentuk dan menempanya sehingga menjadi sebuah identitas diri yang melekat pada manusia.

Mawas Diri (Self-Aware)

Setelah manusia menyadari bahwa Kramadangsa-lah yang menonjol dari dalam dirinya sebagai manifestasi sebuah pribadi yang dialami dan mengalami fenomena sosial, maka mulai diperlukan tindakan mawas diri untuk melakukan evaluasi, kontrol dan perbaikan terhadap tindakan-tindakan sosial yang dilakukan sang Kramadangsa, dan konsekuensi lahir-batin yang akan dialaminya. Pada tataran ini, Ki Ageng Suryamentaram menyebut Kramadangsa yang telah mengetahui isi hatinya sebagai Natadangsa, yakni “aku” yang mulai mampu berintrospeksi dan berkontemplasi untuk menata jiwa dan raganya untuk dapat menjadi “manusia seutuhnya”

Getun-Sumelang, Meri-Pambegan (Grief-Anxiety, Jealousness-Meanness) Kecewa-Khawatir, Iri-Angkuh

Dalam kehidupan sosial yang selalu sawang-sinawang (bercermin pada orang lain), tentu sang Ego tidak akan dapat terlepas dari rasa kecewa, khawatir, iri kepada orang lain dan merasa congkak, berlebih atau sombong. Hal tersebut, menurut pengamatan Ki Ageng Suryamentaram, terjadi karena sang Kramadangsa selalu merasa tidak tenang sebab belum mengetahui hakikat dari karep. Hal inilah yang kemudian menjadikan manusia terlibat dalam kompetisi berlarut-larut, obsesi yang tak berkesudahan, bahkan berujung pada konflik antar-personal dan antar-golongan yang justru menjadikan diri semakin tidak mengalami ketenteraman. Ringkasnya, dalam paradigma Kawruh Jiwa, sifat-sifat yang selalu khawatir, menuntut untuk saling berlomba dan berkompetisi, tidak mengenal rasa puas dan cukup, juga dihantui rasa takut dan kecewa, ditimbulkan oleh ketidakpahaman diri kita sebagai Kramadangsa dalam memilahkan Aku dan Karep.

Bungah-Susah, Mulur-Mungkret (Happiness-Sadness, Expanding and Shrinking Will) Senang-Susah, Kehendak yang Mengembang dan Mengkerut

Begitu pula dalam kehidupan di dunia ini, manusia juga tak dapat terlepas dari rasa senang dan susah yang abadi: saling berganti-ganti tanpa ada habisnya sampai dengan si Aku tadi mati, paling tidak secara biologis. Di dalam kegembiraan dan kesusahan tersebut, dalam pengamatan Suryamentaram, ternyata ada hubungannya dengan sang karep yang mengembang dan mengkerut sebab ketika diri kita gembira, ternyata sang karep semakin menumbuhkan dirinya, sehingga pikiran akan menjangkau ke tempat yang belum pernah dirambah sebelumnya, yang disebut sebagai proyeksi optimis. Pun demikian apabila diri kita masuk ke dalam kesusahan, maka sang karep akan menuntun diri kita ke dalam ukuran-ukuran yang lebih kecil, guna mengatasi keputus-asaan, ketakutan, kekhawatiran dan mudah menyerah dengan cara-cara yang antisipatif menyesuaikan dengan himpitan keadaan. Gaya manajemen hidup yang fleksibel dan kondisional ini menurut Suryamentaram adalah sebuah respons atas keadaan dunia yang owah-gingsir, dengan cara yang sangat merdika sehingga manusia tetap dapat memenuhi tugas-tugas hidupnya dan mengatasi rintangan-rintangan yang ditemuinya.

Ukuran Kaping Sakawan (The Fourth Dimension) Dimensi Keempat

Ki Ageng Suryamentaram dalam pandangannya yang lebih lanjut mengembangkan konsepsi bahwa manusia hidup dalam empat dimensi: dimensi pertama adalah mulai tumbuhnya rasa pribadi, dimensi kedua mulai dapat bereaksi atas rasa pribadi, dan dimensi ketiga mulai memahami rasa pribadi. Akan tetapi, menurut Suryamentaram, manusia belum dapat sempurna jika belum mencapai ke dimensi keempat, yakni mampu menyelami rasa universal. Dengan hidup di dalam dimensi keempat, seseorang diharapkan mampu mengembangkan toleransi, altruisme, dan filantropi. Dengan hidup dalam dimensi keempat pula, manusia akan memahami bahwa dirinya adalah bagian dari sebuah rumahtangga semesta, yang dalam bahasa filsafat agama-agama Timur dirumuskan dengan istilah “wahdatul wujud” atau “tat twam asi”, yang sama sekali bukan dipahami KAS sebagai sebuah langkah mistik sebagaimana yang digandrungi oleh para orientalis ketika mengupas sisi-sisi kebijaksanaan para Begawan dan Sufi dari masa lalu, melainkan sebagai sebuah pintu gerbang menuju kemanusiaan yang bersifat universal. 

Filsafat Raos Gesang (The Philosophy of Living Sense) Filsafat Rasa Hidup

Salah satu hal yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, dalam pandangan Ki Ageng Suryamentaram, terletak pada keberadaan raos gesang, yakni kesadaran hidup. Dengan adanya kesadaran hidup, manusia dapat merasakan bungah lan susah (suka dan duka), serta begja cilaka (beruntung dan kurang beruntung) sebagai bagian dari motivasi dirinya untuk bertahan hidup, tidak semata-mata berdasarkan insting survival dan melestarikan keturunan belaka. Dengan keberadaan raos gesang, manusia kemudian mampu mengerahkan segenap cipta-rasa-karsanya untuk membangun sebuah peradaban. Dengan memahami keberadaan raos gesang ini pula, manusia diharapkan untuk dapat nyawang karep atau menyelidiki dengan sungguh-sungguh, apa motivasi yang menggerakkan dan mendasari seluruh tindakannya itu, dan hasil akhir dari pengamatan terhadap sang karep ini menurut Suryamentaram adalah kedamaian batin yang sejati karena telah terbebas dari belenggu-belenggu pikiran yang menipu diri sendiri dan memicu konflik dengan orang lain.

Raos Merdika. (The Independent Sense) Rasa Bebas

Rasa bebas dapat dicapai manusia apabila dirinya telah mengetahui dan mengerti sifat dari segala sesuatu secara komprehensif. Rasa bebas, menurut Suryamentaram, merupakan sebuah keadaan di mana manusia telah mampu menerima keadaan dirinya lengkap dengan kelemahan dan kekurangan yang niscaya dimilikinya. Keengganan untuk mengakui keniscayaan tersebut menjadikan manusia berlomba-lomba mencari pembelaan terus-menerus terhadap sang ego, yang kemudian melahirkan  perang batin yang membawa ke arah ketidaktenteraman hidup. Salah satu kunci untuk mengembangkan raos merdika atau rasa bebas, adalah kemauan untuk meneliti rasa, serta mengembangkan raos sami, yakni meninggalkan keinginan untuk melampaui, menyaingi, atau mengalahkan orang lain, sebab semua orang di mata Suryamentaram adalah sama. Untuk dapat menuju ke raos sami, menurut Suryamentaram, manusia perlu meninggalkan “kebuasan dan kesewenang-wenangan” yang melekat dalam diri.

Kawruh pamomong. (The Science of Pedagogy) Ilmu Pendidikan Lahir Batin

Ki Ageng Suryamentaram, selain berkonsentrasi kepada penelitian kejiwaan secara mendasar, juga menaruh perhatian besar kepada dunia pendidikan. Pada masa awal berdirinya Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara menunjuk Ki Ageng Suryamentaram untuk membimbing “pendidikan orang dewasa” sementara Ki Hadjar dengan Taman Siswa-nya berkonsentrasi pada pendidikan kanak-kanak dan remaja. Walaupun demikian, Ki Ageng Suryamentaram sendiri memiliki konsep yang bersifat menyeluruh untuk pendidikan manusia, dimulai dari pendidikan anak untuk menuju pribadi yang memahami “raos begja” (rasa beruntung dan berbahagia), “raos sih” (kasih sayang kepada sesama), serta membentuk pribadi yang mandiri dan rasional, sebagai landasan untuk mencapai pribadi manusia dewasa yang merdeka.

Piyageming Gesang (the Guide of Life) Pegangan Hidup

Dalam bab Piyageming Gesang, Ki Ageng Suryamentaram menyatakan bahwa pribadi manusia diteguhkan dengan berbagai pengalaman yang dirasakannya baik yang bersifat menyenangkan atau pahit getir. Pengalaman-pengalaman ini besar manfaatnya untuk membentuk dan mengasah pribadi manusia, namun KAS menekankan bahwa hal ini bisa dicapai apabila manusia mampu ngupakara jiwa atau merawat jiwa: meneliti sebab-sebab dan kejadian yang dialaminya baik yang bersifat menggembirakan atau menyedihkan dari perspektif raos-nya sendiri maupun raos orang lain. Dengan demikian, timbullah raos pribadi yang tepa selira. Ki Ageng Suryamentaram menemukan, bahwa akar dari penderitaan adalah ketidakmampuan manusia untuk hidup selaras dengan aturan alam, dan cenderung menabraknya baik dengan sengaja atau tidak sengaja. Untuk mengatasinya, pengalaman-pengalaman, terutama yang bersifat pahit getir, perlu diolah sebagai bekal untuk mengarungi kehidupan, dan dijadikan piyagem atau pegangan agar hidup dapat berjalan dengan baik.

Gesang miturut aturan alam (konsep 6-Sa). (Living with Natural Rules) Hidup Sesuai Aturan Alam (6-Sa)

Di tengah perlombaan umat manusia, para pemimpin dan negara-negara yang saling menginginkan untuk menang, berkuasa, dan tak segan-segan menginjak raos sesamanya, masyarakat postmodern mulai kehilangan kompas moralnya. Berbagai gerakan, walaupun muncul sebagai riak-riak, berupaya melepaskan diri dari “tabrakan raos sistemik” yang telah mengakar, menggejala, dan diupayakan untuk langgeng dengan berbagai macam bentuk dan topeng ideologis. Pada akhirnya, hal tersebut membuat raos manusia postmodern menjadi menderita tak berkesudahan. Ki Ageng Suryamentaram kemudian merumuskan, bahwa dalam menjalani hidup untuk memenuhi fungsi mempertahankan, menyelamatkan dan melestarikan diri, manusia perlu memegang konsep 6-sa, yakni: sakepenake (rasa nyaman), sabutuhe (mengetahui kebutuhan yang sebenarnya), saperlune (tidak berlebihan), sacukupe (mengembangkan rasa cukup), samesthine (bertindak sebagaimana mestinya), dan sabenere (tidak menyimpang). Pengembangan konsep 6-sa ini sangat futuristik, karena dari jauh-jauh hari telah memprediksi bahwa masa depan manusia tidak terletak pada kompetisi, namun pada koeksistensi. 6-sa adalah pedoman untuk melintasi masa depan tersebut dengan penuh kedamaian dan kesejahteraan.

Manungso Tanpa Tenger (Humanity Beyond Identities) Manusia Melampaui Identitas

Ki Ageng Suryamentaram menggolongkan perkembangan Kramadangsa menjadi empat tahap, (a) sebagai juru cathet, yang merekam fenomena sosial yang ada di sekitarnya, (b) sebagai cathetan, yakni menjelma menjadi bagian dari fenomena sosial itu sendiri dalam perikehidupannya, (c) sebagai Kramadangsa, yakni sebagai ego yang diselubungi karep yang timbul dari pergaulannya dengan cathetan yang telah direkamnya sejak awal pertumbuhan jiwa, dan (d) menjadi manungsa tanpa tenger, sebuah pencapaian puncak di mana jiwa telah sepenuhnya paham, mengetahui dan mampu “menundukkan” cathetan-cathetan tersebut, yang kemudian memicu lahirnya jiwa berkesadaran murni yang welas asih, altruistik, rasional, toleran, dan mampu bersikap jujur terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Dalam tataran manungsa tanpa tenger ini, Suryamentaram melahirkan kredo ora ana rasa kepenak kejaba saka ngepenakake tanggane (tidak lahir rasa nyaman kecuali kita mampu membahagiakan sesama), serta menawa ana wong kepenak ora kanthi ngepenakake tanggane, padha karo njiret gulune dhewe (menyamankan diri dengan membuat orang lain menderita sebenarnya adalah embrio dari penderitaan diri kita pribadi).  

Jiwa persatuan (The Spirit of Unity)

Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa bangsa Indonesia, sama seperti bangsa Timur lainnya, merupakan bangsa yang bersifat sangat kolektif, bukan individualis, sehingga seluruh pergerakannya berbasiskan gotong-royong. Akan tetapi, kadang-kadang dalam pengaruh kuasa politis, ideologis dan hal-hal lain yang berkeinginan melanggengkan dominasinya, kolektivisme ini seringkali dimanfaatkan sebagai alat untuk “saling mengunci”, bukannya sebagai alat untuk saling membebaskan untuk mencapai hidup bahagia. Ki Ageng Suryamentaram merumuskan bahwa raos Persatuan harus diolah dan dikembangkan, justru untuk mendapatkan raos sami, serta berdampak timbulnya raos sugih (merasa cukup), raos entheng (tidak terbebani), raos sumeleh (tidak ambisius) dan raos tentrem (ketenteraman batin). Dengan raos-raos tersebut terangkum sebagai jiwa Raos Persatuan, maka kohesi sosial yang diperoleh akan lebih kokoh, karena capaian-capaian raos tadi bukan merupakan capaian artifisial, melainkan pengalaman-pengalaman yang didapatkan oleh pribadi manusia yang jujur nyawang dan mangerteni karep.

mBangun Jiwa Warga Negara (Building the Citizenship Spirit) Membangun Jiwa Warganegara

Kawruh Jiwa yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryamentaram pada dasarnya bukanlah ngelmu yang disusun dengan permainan kata-kata untuk membicarakan hal-hal yang sangat jauh dan mengawang-awang. Kawruh Jiwa dimaksudkan sebagai sebuah kawruh yang aplikatif, tidak hanya melibatkan pengalaman empiris dan rasionalitas saja, namun mengedepankan juga aspek raos. Pelibatan aspek pikiran dan rasa yang seimbang, menurut Suryamentaram, juga dapat diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut konsep yang dirumuskannya, hidup berbangsa dan bernegara tidak hanya sebatas rasa handarbeni atau memiliki secara politis, namun juga berdasarkan rasa kamanungsan atau kemanusiaan.

Bela Negara (National-patriotism)

Pada saat Indonesia menjelang kemerdekaannya, Suryamentaram dan para manggala lainnya mengirimkan sebuah permohonan untuk dapat membentuk suatu badan penggerak tenaga pemuda yang bernama PETA (Pembela Tanah Air). Badan yang kemudian justru menjadi salah satu tulang punggung perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya ini disusun oleh Ki Ageng Suryamentaram berdasarkan raos wantun pejah, “rasa berani mati”, bukan dalam artian semata-mata mengorbankan diri secara fisik, namun berani menanggalkan ego dan kepentingan sektoral guna mengupayakan kedamaian, ketenteraman, keselarasan dunia agar bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang benar-benar merdeka, mandiri, berdaulat secara utuh. Piwulang Ki Ageng Suryamentaram dalam hal “Bela Negara” ini kemudian dirangkum dalam sebuah buku yang berjudul “Jimat Perang” yang diberikannya kepada Presiden Republik Indonesia, Ir. Soekarno.

Raos Pancasila (The“Pancasila” Reason)

Tentu orang akan bertanya-tanya, mengapa Ki Ageng Suryamentaram yang memilih jalur kebatinan dalam menyalurkan aspirasinya, justru memilih Pancasila sebagai ideologinya? Dalam perjalanannya, kita dapat menemukan bahwa konsepsi Pancasila menurut Ki Ageng Suryamentaram tidak hanya terbatas dalam uraian lima sila yang umum diketahui, namun juga melibatkan raos dari masing-masing sila tersebut. Ki Ageng Suryamentaram menekankan bahwa hidup dalam sebuah bangsa dan negara merupakan sebuah praktek alap-ingalap paedah, yakni saling bermanfaat, saling melindungi, saling membutuhkan satu sama lain. Oleh karenanya, Pancasila dalam pandangan Suryamentaram tidak hanya ditinjau dari segi positivistik saja dalam konteks pendidikan sosial politik bagi sekelompok orang yang berdiam dalam negara kesatuan, namun juga perlu ditelaah dari segi raos untuk dapat menumbuhkannya tidak hanya sebagai ideologi politik atau asas tunggal dalam bernegara, namun juga sebagai sebuah kesadaran bersama sebuah bangsa.

Gagasan (Kecemplung Gagasan). Ideas (Drowning in the Sea of Mind)

Dalam perjalanannya, tentu kita tidak dapat memungkiri bahwa selama manusia masih memiliki cipta, rasa dan karsa maka gagasan atau buah pikiran akan selalu ada dan mewarnai setiap gerak-gerik kehidupannya. Akan tetapi, tidak jarang pula bahwa manusia justru terkurung dalam konstruksi gagasannya sendiri (kecemplung gagasan), sehingga ia justru membatasi diri dalam himpitan-himpitan permasalahan, tanpa melihat adanya jalan keluar yang sebenarnya dapat saja tersedia apabila ia mau membebaskan dirinya dari kurungan gagasan tersebut. Hal inilah yang menyebabkan banyak sekali konflik batiniah, terutama karena dalam suasana kecemplung gagasan ini rasa nrima dan kesadaran bahwa diri kita ini selalu dalam keadaan owah-gingsir, tiba-tiba sirna. Untuk dapat keluar dari permasalahan yang menimpa, Suryamentaram menyarankan manusia untuk dapat berpikir jernih, objektif, dan merdeka.

Kumpulan Materi

HTML Button Generator